Misteri Kitab Sihir Calonarang
Dalam banyak sejarah dan banyak riwayat, Ilmu sihir memang akan lebih ampuh kalau dilakukan oleh seorang wanita. Dalam level ilmusihir yang setingkat, penyihir perempuan (Witch) akan lebih unggul dibandingkan penyihir laki-laki (Wizard). Tapi ada pula yang beropini bahwa jaman dahulu banyak terjadi perendahan martabat wanita, sehingga banyak perempuan yang "dituduh" sebagai tukang sihir jahat.
Besar kemungkinan lantaran pada masa itu sihir yang paling dikenal yaitu sihir dewi Isis yang menggunakan simpul tali (simpul dewi Isis) sebagai medium sihir. Sihir ini berasal dari mesir, dan menyebar ke timur tengah. Uniknya sahabat anehdidunia.com, hampir semua penyihir yang melestarikan dan menggunakan simpul Isis sebagai medium sihir, berjenis kelamin wanita.
Lepas dari itu, yang niscaya bahwa ilmu sihir ini berasal dari jaman Babilonia kuno, yang diajarkan oleh dua orang Malaikat Harut dan Marut sebagai cobaan bagi manusia. Kemudian sesudah itu SETAN lah yang mengajarkan ilmu sihir itu kepada insan pada masa kerajaan Sulaiman. Oleh lantaran itu siapapun yang mempelajari ilmu sihir, berarti dia telah berada dalam kesesatan yang jauh atau kafir. (termasuk harry potter)
Di Indonesia juga ada sebuah legenda yang berawal dari sebuah sejarah perihal seorang penyihir perempuan yang dikenal jahat di masa kerajaan Kediri, yang dikenal dengan nama CALONARANG.
Kisah Calonarang awalnya ditulis di naskah daun lontar (tidak diketahui siapa penulisnya) dengan huruf Bali Kuna. Jumlahnya empat naskah, asing-masing bernomor Godex Oriental 4561, 4562, 5279 dan 5387 (lihat Catalogus Juynboll II. P. 300-301; Soewito Santoso 1975; 11-12).
Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Naskah yang termuda no. 4561, Beberapa potongan dari naskah 4562-5279 dan 5287 tidak lengkap sehingga dengan tiga naskah ini sanggup saling melengkapi. Sebenarnya naskah no. 5279 dan 5287 merupakan satu naskah; naskah no. 5279 berisi ceritera potongan depan, sedangkan no. 5387 berisi ceritera potongan belakang. Naskah tertua no. 5279 berangka tahun 1462 Saka (1540 M). Semua naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda.
Naskah Calon Arang pernah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka (lihat “De Calon Arang” dalam BKI 82. 1926: 110-180) dan pada 1975 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito santoso (lihat “Calon Arang Si Janda Dari Girah”, Balai Pustaka 1975). Uraian di bawah ini disarikan dari goresan pena Dr. Soewito Santoso tersebut.
Ringkasan kisah dalam naskah tersebut terdiri atas dua bagian:
1.Tentang Calon Arang,
2.Tentang pembagian wilayah kerajaan Airlangga kepada dua puteranya.
Dan yang akan kita bahas yaitu yang pertama yaitu kisah CalonArang
2.Tentang pembagian wilayah kerajaan Airlangga kepada dua puteranya.
Dan yang akan kita bahas yaitu yang pertama yaitu kisah CalonArang
Latar Belakang Sejarah
Raja Airlangga (1006-1042 M) memerintah di Jawa Timur semenjak 1021 M sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah lantaran diserang oleh musuh. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan lantaran serangan musuh. Prasasti tidak menyebutkan bahwa keraton Airlangga ada di Daha, tetapi naskah Calon Arang ini menyebutkan keraton Airlangga ada di Daha (Kediri).
Pada masa itulah hidup seorang janda yang sangat sakti berjulukan Dayu Datu dari Desa Girah yaitu Desa pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kediri, yang andal ilmu sihir dan mendirikan sebuah padepokan sihir. Dayu Datu inilah yang kita kenal sebagai Calonarang.
Calon Arang menuliskan semua ilmu sihirnya kedalam sebuah "Kitab", dan kitab sihir inilah yang dalam kisah "dicuri" atau diamankan oleh Mpu Bharadah, yang balasannya berhasil mengalahkan Calon Arang.
Tidak terperinci keberadaan kitab sihir tersebut ketika ini, tetapi beberapa orang murid Calon Arang (yang telah mempelajari sebagian ilmu sihir calon arang), melarikan diri ke pulau Bali. Di Bali mereka mengajarkan dan melestarikan sebagian ilmu yang mereka pelajari dari calon arang, dan ilmu itu kini kita kenal dengan nama Leak. Oleh lantaran itulah kisah calon arang ini sangat bersahabat dengan moral masarakat hindu Bali sehingga calon arang di klaim sebagai orang Bali. Perlu diketahui juga bahwa pada masa itu Bali juga berada dalam kekuasaan Airlangga, dan diperintah oleh adik dari Airlangga sendiri yang berjulukan Anak Wungsu.
Yang menarik yaitu pada masa itu, agama yang terkenal yaitu agama Budha pedoman Tantrayana. Tantrayana mengajarkan trik pintas menuju Moksa. Upatrik yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan makan daging jenazah yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan. Ajaran ini kemudian juga dianut oleh raja Kertanegara (1268-1292 M) dari Singasari. Dengan trik demikian terjadilah pertemuan jiwa antara pelaku upatrik dengan dewanya (lihat juga naskah Tantu Panggelaran disertasi dari Th. Pigeud 1924). Meskipun Ajaran Tantra dimasudkan untuk kebaikan bukan kejahatan, tapi diyakini Calon Arang juga melaksanakan ritual yang serupa yang dia lakukan untuk menyembah/memohon pada Btari Durga, yang notabene yaitu salah satu dewi agama hindu. Sinkritisme?
Lebih menarik lagi fakta yang diketahui bahwa Mpu Bharada beragama Budha, sedangkan muridnya, yaitu raja Airlangga beragama Hindu
Ilmu Leak yaitu sebagian dari Ilmu Sihir Calonarang
Di Bali Ilmu leak dikenal masyarakat luas, ilmu ini memang teramat sadis lantaran sanggup membunuh insan dalam waktu yang relatif singkat. Ilmu Leak sanggup juga mengakibatkan insan mati setrik perlahan yang sanggup mengakibatkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.
Dalam masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, mirip adanya siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati. Demikian pula dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan atau Ilmu Putih?.
Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu orang lain. Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa".
Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu orang lain. Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa".
- Ngiwa asal katanya kiwa (Bahasa Bali) artinya kiri.
- Ngiwa berarti melaksanakan perbuatan kiwa alias kiri.
Ilmu leak ini bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian Ilmu Hitam. Lontar–lontar atau buku – buku jaman kuno yang terbuat dari daun pohon lontar yang dibentuk sedemikian rupa dengan ukuran panjang 30 cm dan lebar 3 cm, diatas lontar diisi goresan pena huruf Bali dengan bahasa yang sangat sakral. Murid2 calonarang yang melarikan diri ke bali menuliskan Ilmu Pengleakan pada kitab lontar dan membuatnya dalam empat kitab yaitu :
1. Lontar Cambra Berag,
2. Lontar Sampian Emas,
3. Lontar Tanting Emas,
4. Lontar Jung Biru.
2. Lontar Sampian Emas,
3. Lontar Tanting Emas,
4. Lontar Jung Biru.
Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :
1. Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa merubah wujudnya menjadi hewan mirip monyet, anjing, ayam putih, kambing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.
2. Ilmu Leak Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda bisa terbang tinggi, paruh dan cakarnya berbisa, matanya bisa keluar api, juga bisa berubah wujud menjadi Jaka Tungul atau pohon enau tanpa daun yang batangnya bisa mengeluarkan api dan wangi busuk yang beracun.
3. Ilmu Leak Tingkat Tinggi yaitu orang yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Bade yaitu berupa menara pengusungan jenasah bertingkat dua puluh satu atau tumpang selikur dalam bahasa Bali dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.
Ilmu Pengleakan Bali sangat menakutkan, dan itu gres SEBAGIAN dari apa yang tertulis dalam kitab calonarang. Bayangkan kalau seluruh ilmu sihir yang ada dalam kitab calonarang ditemukan ....
Calonarang sering disebut Rangda Nateng Girah yaitu Rangda artinya Janda, Nateng artinya Raja (Penguasa). Girah yaitu nama suatu desa. Makara ‘’Rangda Nateng Girah’’ artinya Janda Penguasa desa Girah.
Calonarang yaitu Ratu Sihir yang sangat sakti, pada jaman itu bisa membuat wilayah Kerajaan Kediri mengalami Gerubug/Pageblug/Epidemi atau wabah yang sanggup mematikan rakyatnya dalam waktu singkat, yaitu pada wilayah pesisir termasuk wilayah desa Girah.
Dibawah ini yaitu kisah calonarang versi bali, sehingga calonarang disebut ibu, dan ilmu sihirnya disebut leak. Kisah ini pernah juga di filmkan dan diperankan oleh sang artis ratu horor, Suzzana ...
Kisah Calon Arang
Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Sihir yang dipimpin oleh seorang janda yang berjulukan Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu Datu).
Murid – muridnya semua perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah tergolong tingkat senior antara lain : Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.
Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang berjulukan Diah Ratna Mengali, berparas elok jelita, tetapi putrinya tidak ada satupun cowok yang melamarnya.
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada aturan keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang berjulukan Diah Ratna Mengali, berparas elok jelita, tetapi putrinya tidak ada satupun cowok yang melamarnya.
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada aturan keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
http://www.michellechin.net/images/writings/film/kris.jpg
Mendengar pengaduan tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. Pengaduan tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, hambar dan sejuk, seketika berkembang menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan Sang Hyang Wisnu berkembang menjadi Sang Hyang Brahma, air berkembang menjadi api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang sudah renta tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh masyarakat Kerajaan Kediri.
Ibu Calonarang sangat sedih bercampur berang, sedih lantaran khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu, berang lantaran putrinya dituduh bisa ngeleak.
Ibu Calonarang berkata kepada Nyi Larung : “Hai Nyi Larung, penghinaan ini bagaikan air kencing dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan membalas semua ini, rakyat Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak dalam sekejap. Semua orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki, perempuan, renta muda, semuanya akan menanggung akhir dari fitnah dan penghinaan ini. Kalau tidak tercapai apa yang saya katakan ini, maka lebih baik saya mati, percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini tidak melaksanakan balas dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.
Demikian kata-kata Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau seandainya hal ini menjadi kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan bertanya “Kalau demikian niat Guru, bagaimana kita bisa melaksanakan hal tersebut”. segera dijawab oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung, ketahuilah, jangan terlalu khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu Calonarang bukanlah orang sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin dengan diri, maka saya tidak akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut mencicipi akhir dari segala perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap anakku.
Kau Nyi Larung, Ibu minta semoga kamu mengumpulkan semua murid-muridku supaya segera masuk ke Pasraman Pengeleakan. “Tunggu hingga tengah malam nanti. Aku akan menurunkan segala ilmu kewisesan yang saya miliki kepada kalian semua. Karena kini hari masih terang dan sore, lebih baik engkau semua melaksanakan pekerjaan mirip biasanya. Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti malam kita akan berkumpul lagi membitrikkan problem tersebut, dan ingat tidak ada yang boleh tahu mengenai apa yang kita akan lakukan ini, kita akan membuat Kerajaan Kediri gerubung yaitu berupa serangan wabah penyakit yang sulit diobati yang sanggup mematikan rakyatnya dalam waktu singkat. Demikian Ibu Calonarang menutup pembitrikannya pada sore hari tersebut, dan semua kembali melaksanakan kegiatan sebagaimana mestinya.
Gerubug Di Kerajaan Kediri
Diceritakan Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai mirip biasanya. Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah dengan menanam padi dan palawija. Anak-anak muda semuanya riang bangga bermain sambil mengembalakan sapi dan angsa di sawah. Mereka riang gembira, menemani orang tuanya yang sedang membajak sawah. Ada pula masyarakat yang bekerja sebagai tukang membuat rumah, pondok, bangunan suci mirip pura dan sanggah, atau membuat angkul-angkul atau pintu gerbang, dan lain-lain. Bagi kaum perempuan dan yang bekerja sebagai pedagang dengan menjual kue, nasi, kopi dan ada pula yang menenun kain untuk keperluan sendiri. Ada pula dari golongan pande bekerja khusus membuat perabotan pisau, sabit, parang, cangkul, keris, dan perabotan dari besi lainnya. Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki biasanya diisi dengan mengelus-elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan digunakan untuk mencari kutu rambut.
Tidak ada terasa hal-hal absurd atau menandakan absurd di siang hari tersebut. Kegiatan masyarakat berlangsung dari pagi hingga sore, bahkan hingga malam hari. Pada malam hari masyarakat yang bahagia matembang atau bernyanyi melaksanakan kegiatannya hingga malam. Demikian pula dengan sekaa gong latihan hingga malam di Balai Banjar. Suasananya nyaman, tentram, dan tenang sangat terasa ketika itu.
Setelah tengah malam tiba, semua masyarakat telah beristirahat tidur. Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi senyap, ditambah lagi pada hari tersebut yaitu hari Kajeng Kliwon. Suatu hari yang dianggap kramat bagi masyarakat. Masyarakat biasanya pantang pergi hingga larut malam pada hari Kajeng Kliwon. Karena hari tersebut dianggap sebagai hari yang angker. Sehingga penduduk tidak ada yang berani keluar hingga larut malam.
Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di tengah malam, ketika itulah para murid atau sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi leak tiba ke Desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Sinar beraneka warna bertebaran di angkasa. Desa-desa pesisir bagaikan dibakar dari angkasa. Ketika itu, penduduk desa sedang tidur lelap. Kemudian dengan kedatangan pasukan leak tersebut, tiba-tiba saja penduduk desa mencicipi udara menjadi panas dan gerah. Angin hambar yang tadinya mendesir sejuk, tiba-tiba hilang dan menjadi panas yang membuat tidur mereka menjadi gelisah. Para belum dewasa yang gelisah, dan terdengar tangis para bayi di tengah malam. Lolongan anjing saling bersahutan seketika. Demikian pula bunyi goak atau burung gagak terdengar di tengah malam. Ketika itu sudah terasa ada yang absurd dan ganjil ketika itu. Ditambah lagi dengan adanya bunyi kodok darat yang ramai, padahal ketika itu yaitu isu terkini kering. Demikian pula tokek pun ribut saling bersahutan seperti memberitahukan sesuatu kepada penduduk desa. Mendengar dan mengalami suatu yang ganjil tersebut, masyarakat menjadi ketakutan, dan tidak ada yang berani keluar.
Endih atau api jadi-jadian yang berjumlah banyak di angkasa kemudian turun menuju jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk desa. Api sebesar kandang ayam mendarat di perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api kecil-kecil warna-warni. Setelah itu para leak yang tadinya terbang berwujud endih, kemudian sesudah di bawah berubah wujud menjadi leak beraneka rupa, dan berkeliaran di jalan-jalan desa. Ketika malam itu, ada seorang masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari balik jendela rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa yang dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan peristiwa di luar. Orang tersebut, lantaran saking takutnya, segera ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat, serta segera memohon kehadapan Hyang Maha Kuasa semoga diberikan perlindungan. Kemudian orang tersebut mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak mau bitrik.
Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah tiga puluh empat orang ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah senior yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua sudah berada di desa pesisir. Malam yang sangat gelap kemudian ditambah dengan hujan gerimis yang memunculkan wangi tanah yang angid, mambuat para leak menjadi semakin bersuka ria. Beberapa bola api bertebaran di angkasa berkejar-kerjaran dan menari-nari. Monyet-monyet besar, anjing bulu kotor, dan babi bertaring panjang berkeliaran di jalan-jalan sepanjang desa wilayah pesisir bercanda bersuka ria. Leak kambing, gegendu kerbau, gegendu jaran tampak jalan-jalan mengitari Kerajaan Kediri. Demikian pula dengan sosok Leak Celuluk yang berkelebat-kelebat dan bersandar di angkul-angkul rumah penduduk. Leak yang berwujud kreb kasa atau kain putih panjang bergulung-gulungan tampak melintang di jalanan. Di perempatan dan pertigaan jalan Desa, sosok Leak berwujud bade atau menara pengusungan jenazah sedang menari-nari memenuhi jalanan. Semua leak tersebut menjalankan kiprah mirip apa yang diperintahkan oleh gurunya yakni Ibu Calonarang.
Sungguh-sungguh menakutkan memang pada malam itu. Penduduk desa tidak ada yang berani berkutik, apalagi keluar rumah. Para leak di malam itu telah mengembangkan penyakit grubug di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Setelah semalaman para leak berpesta pora, maka hari telah menjelang pagi. Tiba saatnya para Leak untuk kembali ke wujud semula. Karena begitulah hukumnya sebagai leak. Waktu mereka yaitu di malam hari. Apabila mereka melanggar aturan tersebut maka mereka akan mendapat bahaya. Ketika hari menjelang pagi para leak pun kembali ke tempatnya semula, dan pulang ke rumah. Demikian pula dengan Ibu Calonarang beserta Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi dan Nyi Sedaksa kembali pulang ke rumah sesudah pesta pora di malam hari. Sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja mereka semalam.
Diceritakan keesokan harinya penduduk desa bangun pagi-pagi. Mereka ramai menceritakan keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang terjadi pada malam harinya. Semuanya menceritakan apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka sempat saksikan malam itu dirumah masing-masing. Namun sedang asyiknya mereka bercerita, tiba-tiba saja ada seorang penduduk yang menjerit minta tolong. Orang tersebut menyampaikan salah seorang keluarganya tiba-tiba saja sakit perut, muntah-muntah, dan mencret-mencret. Ketika mau memperlihatkan pertolongan kepada penduduk di sebelah Barat tersebut, tiba-tiba saja tetangga di sebelah Timur menjerit minta tolong ada salah seorang keluarganya yang muntah dan mencret. Pagi itu, masyarakat desa menjadi panik. Karena mendadak sebagian penduduk mengalami muntah dan mencret. Bahkan pagi itu, ada beberapa yang telah meninggal. Beberapa lagi belum ada yang sempat diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal. Demikian semakin panik masyarakat di desa. Segera saja yang meninggal dikuburkan di setra atau daerah pemakaman mayat, namun ketika pulang dari setra, tiba-tiba saja yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan meninggal. Demikian seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh ancaman maut. Seolah-olah maut ada di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan pemandangan di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri ketika itu. Kerajaan Kediri gempar, sehari-hari orang mengusung jenazah kekuburan dalam selisih waktu yang sangat singat.
Menghadapi situasi demikian beberapa penduduk dan prajuru desa mencoba untuk menanyakan kepada para balian atau dukun untuk minta pertolongan. Para balian pun didatangkan ke desa-desa yang kena tragedi wabah gerubug. Ternyata mereka juga tidak sanggup berbuat banyak menghadapi penyakit gerubug yang dialami penduduk desa. Bahkan, si balian atau dukun yang didatangkan tersebut mengalami mutah berak dan meninggal. Setiap hari peristiwa tersebut terus berlangsung. Penduduk desa menjadi galau dan panik. Ada yang berkehendak untuk mengungsi dan menghindar dari grubug tersebut. Mereka berbondong-bondong meninggalkan desanya. Namun ketika hingga di batas desa, mereka itu mengalami muntah berak dan meninggal seketika. Melihat keadaan mirip itu penduduk yang masih hidup menjadi semakin ketakutan. Ketika malam hari, mereka semua tidak ada yang berani tidur sendirian, dan tidak berani keluar rumah. Lolongan anjing tak henti-hentinya di malam hari. Burung gagak, katak dongkang, semuanya ribut saling bersahutan.
Adanya petaka yang menakutkan bercampur dengan sedih, para penduduk mencoba untuk berpasrah diri dan menyerahkan semuanya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap ketika mereka memuja dan memohon kehadapan dia semoga tragedi grubug ini segera berakhir, dan semua penduduk yang masih hidup diberkahi keselamatan dan kekuatan. Di samping itu perlindungan-perlindungan magis dipasang di depan pintu masuk pekarangan dan pintu rumah. Sesuai dengan petunjuk orang berakal atau sesuai dengan kebiasaan para tetuanya terdahulu. Penduduk memasang sesikepan atau pelindung magis mirip daun pandan berduri yang ditulisi tapak dara atau tanda palang dari kapur sirih, berisi bawang merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu yaitu benang warna merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang kepeng. Makara pada dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan memohon pemberian kehadapan Hyang Maha Kuasa.
Setelah berberapa hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, balasannya para prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para pemangku, mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah. Pada pada dasarnya mereka membitrikkan mengenai problem atau penyakit gerubug yang menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Kalau seandainya problem ini diagarkan begitu saja, sudah niscaya penduduk desa akan habis semuanya.
Mereka tetap berharap semoga semua masyarakat meningkatkan astiti bhaktinya atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan semoga diberikan keselamatan, kesehatan, perlindungan, dan umur panjang. Disamping itu pula para prajuru desa para penglingsir atau tetua desa beserta dengan para pemangku setuju untuk melaporkan problem ini kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri. Mereka berencana memohon kehadapan Raja Airlangga semoga dia berkenan untuk tiba ke desa-dewa wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau rakyatnya yang sedang ditimpa petaka penyakit atau gerubug. Karena dia sebagai penguasa atau sebagai Raja Kediri berhak tahu dan wajib untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Demikian kesepakatan mereka dan merencanakan akan berangkat ke Istana besok pagi.
Ketika para tetua desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih berada di Bale pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh tinggi, kepala kribo, berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan sempoyongan, dengan mata merah, dan bitriknya ngawur. Rupanya orang ini dalam keadaan mabuk. Orang tersebut tiba di bale pertemuan dan berkata bahwa anaknya telah meninggal lantaran muntah mencret. Pemabuk itu kemudian berkata : mana Leak Calonarang yang telah memakan anakku, akan saya santap bola matanya mentah-mentah. Demikian orang tersebut sesumbar dihadapan para sesepuh desa. Ketika sesudah menyampaikan sesumbar tersebut Si Brewok tiba-tiba saja muntah mencret tak tertahankan, dan balasannya tewas di tempat.
Setelah beberapa ketika Si Brewok tergeletak, kemudian para tetua desa tersebut menjadi teringat dengan peristiwa yang terjadi beberapa waktu kemudian ketika di Desa Girah. Mereka gres ingat bahwa Si Brewok inilah yang menjadi biang keladi dari peristiwa yang menimpa Diah Ratna Manggali anak Ibu Calonarang. Bersama-sama dengan orang banyak, Si Brewok ini telah membuat fitnah Diah Ratna Mengali bisa ngeleak lantaran Ibunya Calonarang yaitu orang sakti dan bisa ngeleak. Jangan-jangan hal itu yang menjadi penyebab dari penyakit gerubug yang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri kini ini. Karena Calonarang merasa tersinggung dan terhina tidak akan tinggal diam. Mungkin saja ia akan membalas dendam sesuai dengan kemampuannya. Apalagi Calonarang yaitu seorang yang sangat sakti dan mempunyai murid yang sangat banyak. Sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka mencoba untuk menghancurkan desa-desa di Kerajaan Kediri dengan menebar penyakit gerubug. Rupanya mereka yang ada di sana mempunyai pikiran yang sama, dan setuju untuk segera melaporkan hal tersebut kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri.
Keesokan harinya para prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana Kediri. Sangat cepat perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan sampailah rombongan tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja. Ketika di Istana rombongan tersebut menyaksikan suatu keadaan yang tenang, damai, dan biasa saja, jauh dari kesusahan, kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di desa kini ini. Di bencingah puri tampak sekelompok masyarakat yang sedang duduk-duduk di bawah rimbunnya daun beringin yang sangat besar yang tumbuh di becingah, seolah-olah memayungi rakyat Kediri dari terik sinar matahari. Bangsingnya atau akarnya yang menjulur hingga menyentuh tanah seolah-olah menjulurkan tangannya untuk menolong rakyat Kediri yang kesusahan. Mereka mirip biasa yang laki-laki beristirahat, sambil mengecel atau mengelus ayam aduan. Di sampingnya tampak berderet ayam aduan dengan beraneka warna, dan mekruyuk atau berkokok saling bersahutan. Disana, ada pula dagang kopi, dagang kue, dagang nasi, dengan be guling nyodog atau babi guling yang utuh dan diletakkan di atas meja dagangan.
Rombongan tersebut disapa oleh orang-orang yang ada di bencingah. Mereka kemudian segera masuk ke dalam Istana Raja melalui pemedalan atau pintu keluar candi bentar yang megah, disandingkan dengan bale kulkul yang menjulang tinggi, dan bale terdiam yang tampak mempesona, membuat mereka menjadi klangen atau kagum. Di hulu sebelah timur bahari terdapat pemerajan puri atau daerah suci keluarga Raja yang sangat disucikan.
Mereka kemudian menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau balai penghadapan. Setelah memperlihatkan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke Istana. Dijelaskan pula setrik panjang lebar mengenai problem yang sedang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Mereka kemudian memohon semoga Sang Prabu berkenan untuk meninjau ke desa-desa. Demikian hatur mereka semua kehadapan Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan dengan roma muka yang agak tegang ketika itu.
“Kalau begitu keadaannya, penyebar gerubug di desa-desa wilayah pesisir tidak lain dan tidak bukan yaitu Ibu Calonarang. Aku tidak akan meninjau ke desa lagi. Tetapi saya akan segara berupaya untuk menuntaskan problem kalian, dan menghadapi Calonarang yang sakti tersebut”.
“Pengerusakan dan penyebaran penyakit di desa-desa oleh Calonarang sebetulnya yaitu tantangan eksklusif bagiku sebagai penguasa di Kerajaan Kediri. Aku akan menghadapi bagaimanapun ririh atau saktinya Calonarang. Calonarang sangat berani kepadaku, dan sangat besar dosanya dikarenakan telah membunuh banyak rakyatku yang tidak berdosa. Sangat besar dosanya terhadap kerajaan, sehingga orang tersebut harus mendapat ganjaran sanksi yang setimpal”. Demikian sabda Raja Kediri yang menabuh genderang perang terhadap Calonarang.
Sang Prabu juga memberikan pesan kepada rombongan Desa Girah sesampai di rumah nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku semuanya. Tenanglah, bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri Sakti yang berstana di Pura Kayangan Tiga. Selalulah berjaga-jaga di perbatasan desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan sekaligus mohon pemberian kehadapan Hyang Betara Brahma. Sebelum itu jangan lupa menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau daerah suci keluarga masing-masing semoga para leluhur kita juga ikut membantu melindungi dari ancaman ini. Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana bawang putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana penolak leak. Demikian perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada rakyat dia yang sedang ditimpa tragedi gerubug dan salanjutnya para penghadap tersebut diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah rombongan tersebut di rumah, dan segera memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri.
Raja Kediri Murka
Kembali diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa Girah, maka dia sendirian duduk termenung di bale penangkilan. Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya dikepalkan, dan tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu sendirian di Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan panas hati dia akhir ulah Calonarang. Sangat menakutkan sekali perangai dia ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau kuning yang akan menerkam mangsanya. Tak seorang pun parekan atau punakawan di puri atau istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan atau punakawan di puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat Sang Prabu yang lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan menemani dia ketika itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan yang lainnya tidak disentuh sama sekali. Pikiran dia hanya tertuju kepada upaya bagaimana mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut.
Ketika hari menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari daerah dia duduk semenjak pagi. Kemudian setrik tak disangka-sangka tiba Ki Patih Madri menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia yaitu seorang tabeng dada atau pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar, berakal ilmu silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan. Ia sangat kuat di kalangan orang-orang di Kerajaan Kediri, namun ia sendiri berpenampilan sangat sederhana, polos, dan sangat setia kepada Istana terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja Kediri.
Sangat bangga sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul di Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak bertukar pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk perasaan Raja Airlangga ketika Ki Patih Madri tiba pada ketika yang diharapkan sekali. Sambil menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan, Sang Prabu berkata kepada Ki Patih Madri : “aku hari ini sangat kesal, murka dan bercampur sedih dalam hatiku. Yang mengakibatkan yaitu ulah onar Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan kekuasaanku. Sekarang lantaran kebetulan sekali Patih Madri tiba ke Istana, maka saya ingin mendapat masukan dari engkau mengenai problem yang menimpa desa tersebut. Bagaimana triknya menumpas dan melenyapkan Calonarang beserta sisya-sisyanya atau murid-muridnya yang telah berbuat onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat desa Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk menghancurkan Kerajaan Kediri setrik keseluruhan”. Demikian kata pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.
Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, lantaran sebelumnya ia sama sekali tidak mendengar adanya problem ini. Ki Patih Madri berpikir sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau sangat ndeso memperlihatkan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai problem ini.
Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke bahari begitulah ibaratnya”. Lebih lanjut Ki Patih Madri memberikan haturnya kehadapan Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laris Calonarang tersebut, maka inilah yang disebut dalam sastra agama sebagai Atharwa yang artinya melaksanakan pembunuhan yang sangat kejam terhadap orang lain yang tidak berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam. Mereka telah menebar cetik atau racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai Himsa Karma yakni perbuatan membunuh makhluk lain setrik sewenang-wenang. Para pelaku dari semua ini harus dieksekusi berat dan setimpal”. Demikian hatur Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu. Kemudian Ki Patih Madri menambahkan haturnya kini Paduka jangan terlalu bersedih dan khawatir. Hamba akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban sebagai rakyat) bersama dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa dan raga hamba untuk Kediri. Kita akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah, kita hancurkan antek-antek, dan kita musnahkan Calonarang”. Demikian Ki Patih Madri memompa semangat junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu mendengar apa yang diucapkan oleh Ki Patih Madri.
Raja Airlangga kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan penyerangan.
Gugurnya Ki Patih Madri
Diceritakan Ki Patih Madri telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan di Istana dan diberikan pengarahan mengenai planning penyerangan ke daerah Ratu Leak di Desa Girah menggempur Calonarang di malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis pelindung diri.
Karena kesaktian Calonarang, maka serangan dari pihak Kediri yang dipimpin Ki Patih Madri telah diketahui sebelumnya. Sehingga Calonarang memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya atau murid-muridnya untuk bersiaga di perbatasan Desa Girah. Calonarang beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para jawara Kediri yang akan menggempurnya. Mereka telah menggelar semua ilmu yang dimiliki dan telah menyengker atau memagari Desa Girah dengan penyengker gaib, sehingga kekuatan musuh tidak sanggup menembus pertahanan tersebut.
Pada tengah malam, sampailah Ki Patih Madri dan para jawara Kediri di perbatasan Desa Girah. Mereka eksklusif menggelar ajian yang mereka miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut kemudian dihadang oleh para murid Calonarang yang dipimpin oleh Nyi Larung sehingga terjadilah pertempuran ilmu kanuragan dimalam hari yang sangat dasyat. Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya gemerlapan aneka warna di angkasa yang saling berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit di Desa Girah pada malam itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa usang pertempuran di malam hari berlangsung, serangan dari para jawara Kediri sanggup dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid Calonarang, sedangkan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan melawan Nyi Larung dan para jawara Kediri banyak yang tewas. Para jawara Kediri yang masih hidup berhamburan berlari meninggalkan arena pertempuran lantaran terdesak. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri. Setelah mengalami desakan dari pasukan leak murid-murid Calonarang, maka para jawara Kediri menetapkan untuk berbalik dan kembali ke Istana Kediri, serta melaporkan semuanya kehadapan Prabu Airlangga.
Kekalahan pasukan Kediri mengakibatkan pasukan leak Calonarang bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun, melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit. Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut. Mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
Diceritakan mengenai perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah perang. Pada pagi hari mereka telah hingga di Istana Kediri. Segera mereka menghadap Sang Prabu dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian pula dengan Sang Prabu yang telah menunggu semalaman dengan harap-harap cemas.
Diceritakan mengenai perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah perang. Pada pagi hari mereka telah hingga di Istana Kediri. Segera mereka menghadap Sang Prabu dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian pula dengan Sang Prabu yang telah menunggu semalaman dengan harap-harap cemas.
Salah seorang dari pasukan Kediri menghaturkan sembah kehadapan Sang Prabu “mohon ampun Paduka, hamba permaklumkan bahwa murid-murid Calonarang benar-benar teguh atau kuat. Pasukan Kediri tidak bisa mengalahkannya dan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan dan banyak pasukan yang tewas. Hamba gagal dalam mengemban kiprah yang Paduka titahkan. Atas kegagalan tersebut, hamba mohon ampun, dan siap menjalankan hukuman”. Demikian permakluman prajurit Kediri kehadapan Sang Prabu.
Raja Airlangga yang bijaksana kemudian bersabda “ Wahai prajuri Kediri yang gagah berani beserta semua pasukan, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Yang penting kini yaitu saya minta engkau semoga tidak surut kesetiaanmu terhadap Kediri. Teruskanlah kesetiaanmu terhadap Istana, terhadap Kerajaan Kediri. Janganlah berputus asa, lantaran masih ada waktu dan masih ada trik lain untuk menumpas Calonarang beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali Calonarang. Sang Prabu melanjutkan wejangannya. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan atau kewajiban dalam pertempuran. Dalam Shanti Parwa disebutkan bahwa apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman. Semuanya itu yaitu merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya yang digolongkan yadnya utama”. Demikian Sang Prabu memperlihatkan wejangan kepada Prajurit Kediri yang hampir frustasi lantaran kalah perang.
Mendengar wejangan tersebut, para pasukan Kediri mencicipi hidup kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon atau kekuatan tenanga dalam, sehingga semangat pasukan tumbuh kembali. Prajurit kemudian berkata “baiklah tuanku, sangat bahagia hamba mendegar wejangan tersebut. Sekarang hamba sadar dan yakin akan diri. Hamba akan membela mati-matian dan menyabung nyawa menghadapi Calonarang beserta dengan murid-muridnya”. Pernyataan Prajurit tersebut dibarengi oleh seluruh pasukan, dan disambut hangat oleh Raja Airlangga. “Baiklah kalau begitu, Aku sebagai Raja Kediri sangat menghargai kesetiaamu.
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
Dengan kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawanta (Rohaniawan Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang berjulukan Empu Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi gerubug (wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.
Empu Bharadah kemudian mengatur siasat dengan trik Empu Bahula putra Empu Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali semoga berhasil mencuri diam-diam ilmu pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu Bharadah kemudian mengatur siasat dengan trik Empu Bahula putra Empu Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali semoga berhasil mencuri diam-diam ilmu pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan huruf Bali yang menguraikan perihal teknik – teknik pengeleakan. Setelah Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dengan memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang. Ibu Calonarang sangat murka dan menantang Empu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri.
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
Dalam perang besar ini Raja Airlangga mengikutkan Pasukan Khusus Balayuda Kediri dalam menghadapi Calonarang dan pasukan leaknya.
Para Pasukan Balayuda Kediri yang terpilih sebanyak dua ratus orang yang dipimpin oleh Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal. Semua pasukan ini akan mengawal dan membantu Empu Bharadah dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh Calonarang dan antek-anteknya.
Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan mirip senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan banyak sekali sarana pelindung tubuh yang mistik sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit atau daerah rahasia. Yang tidak kalah pentingnya yaitu persiapan mengenai perbekalan masakan dan minuman yang diharapkan selama penyerangan. Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istrirahat semoga tenaga cukup kuat untuk penyerangan besok. Keesokan harinya perjalanan penyerangan dilakukan, pasukan khusus atau pasukan pilihan dari Kediri yang disebut dengan Pasukan Balayuda dalam penyerangan tersebut mengawal Empu Bharadah. Sedangkan di depan sebagai pemimpin pasukan dipercayakan kepada Ki Kebo Wirang didampingi Ki Lembu Tal.
Tidak diceritakan perjalanan mereka, balasannya rombongan Empu Bharadah dan pasukan Kediri hingga di pesisir selatan Desa Lembah Wilis. Di sana rombongan tersebut berhenti sejenak untuk beristirahat dalam persiapan untuk menuju ke Desa Girah. Semua pasukan kemudian menuju Setra Ganda Mayu yang berada di Wilayah Desa Girah.
Diceritakan kemudian Ibu Calonarang dirumahnya diiringi oleh para sisyanya semua melaksanakan penyucian diri dan mengayat atau memuja kehadapan Ida Betari mohon anugrah kesaktian. Mereka memusatkan pikiran dan memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau suara, dan idep atau pikiran, memuja Ida Betari bersarana sekar manca warna atau bunga warna-warni, dengan disertai asep menyan majegau atau wangi-wangian yang dibakar yang asapnya membubung ke angkasa, seolah-olah memberikan niat Ibu Calonarang kehadapan Ida Betari. Semua pekakas dan sarana pengleakan diturunkan dari tempatnya yang pingit atau daerah rahasia, dan masing-masing menggunakannya. Di hadapan mereka juga digelar tetandingan jangkep atau sarana sesajen lengkap sesuai dengan keperluan. Calonarang kemudian mulai memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Ia tampak berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti memohon anugrah kesaktian dan kesidian kehadapan Hyang Maha Wisesa, dengan keinginan Empu Bharadah dan Balayuda Kediri sanggup dikalahkan.
Setelah beberapa ketika melaksanakan konsentrasi, maka sampailah pada puncaknya. Raja pengiwa pun telah dibangkitkan dan merasuk ke dalam sukma. Kedigjayaan atau kewisesan telah turun dan masuk ke dalam jiwa raga. Calonarang kemudian berdiri dan berkata kepada semua sisyanya “para sisyaku semuanya, permohonan kita kehadapan Hyang Betari telah terkabulkan dan telah mencapai puncaknya. Kesaktian telah kita bangkitkan semuanya, dan telah merasuk ke dalam jiwa dan raga. Kini saatnya kita bertarung menghadapi Empu Bharadah dan Balayuda Kediri. Kita akan pertahankan harga diri kita. Mampuskan semua orang-orang Kediri yang tiba ke sini menyerang. Demikian perintah Calonarang kepada seluruh sisyanya. Suaranya ketika itu telah berkembang menjadi besar dan menggema, dan bukan merupakan suaranya yang biasa. Kemudian Calonarangpun tertawa ngakak, dan terdengar menakutkan.
Semua sisya Calonarang telah nyuti rupa atau berubah wujud dan siap menyerang. Ada wujud bojog atau monyet yang siap menggigit, ada kambing siap nyenggot atau menanduk, ada sapi dan kuda yang siap ngajet atau menendang, ada kain kasa atau kain putih panjang yang siap menggulung dan membakar, ada bade atau menara pengusungan jenazah yang siap membakar, ada babi bertaring panjang yang siap ngelumbih atau membanting dengan kepala, ada awak belig atau tubuh licin yang mukanya mirip umah tabuan atau sarang tawon. Ada pula api bergulung-gulung yang siap membakar siapa saja yang menghadang. Semua pasukan leak kemudian keluar dari rumah Calonarang dalam rupa bola api beterbangan, kemudian menuju ke Setra Ganda Mayu daerah perjanjian pertempuran dengan Empu Bharadah dan pasukan Balayuda Kediri.
Melihat pasukan leak dengan beraneka rupa datang, pasukan Kediri menjadi kaget dan was-was dan ada yang ketakutan. Semuanya berkemas-kemas dan merapatkan diri. Demikian pula dengan Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal, mereka berdua sangat waspada serta selalu berada di bersahabat Empu Bharadah untuk mengawalnya.
Empu Bharadah tidak sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut, bahkan semangat untuk bertempur semakin membara. Sambil juga Empu Bharadah mengucap mantra sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana sesikepan, sesabukan, rerajahan kain, dan pripian tembaga wasa atau lempengan tembaga. Sangat ampuh mantra sakti Pasupati tersebut. Empu Bharadah membawa pusaka sakti berupa sebuah keris yang berjulukan Kris Jaga Satru.
Ibu Calonarang Tewas
Pertarunganpun terjadi dengan sangat menakutkan dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya dengan penguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda Kediri, di Setra Ganda Mayu.
Pertempuran berlangsung sangat usang sehingga hingga pagi, dan lantaran ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka sesudah siang hari Ibu Calonarang balasannya tidak kuat melawan Empu Bharadah
Calonarang terdesak dan sisyanya banyak yang tewas dalam pertempuran melawan Empu Bharadah dan Pasukan Balayuda Kediri. Mengetahui dirinya terdesak, Calonarang mirip biasa segera menggelar kesaktian pengiwanya. Ia segera berubah wujud menjadi seekor burung garuda berbulu emas, melesat ke udara, dan bersembunyi di balik awan. Ketika itu, Empu Bharadah segera masuk ke dalam rumah Calonarang . Didapatinya rumah Calonarang telah kosong, tak ada siapa-siapa. Pasukan Balayuda Kediri mengurung rumah Calonarang.
Empu Bharadah kemudian berteriak : “Hai kamu Calonarang pengecut, di mana gerangan engkau bersembunyi. Sudah berwujud apa engkau sekarang, saya akan hadapi. Aku menantangmu, ayolah segera tunjukkan batang hidungmu”. Setelah berkata demikian, tiba-tiba ada jawaban dari angkasa. Rupanya Calonarang sudah bersembunyi dari tadi, tanpa sepengetahuan pasukan Kediri. Calonarang berkata : “Hai kamu Empu Bharadah, dimana bersembunyi rajamu. Mendengar usikan si garuda tersebut dari udara membuat Empu Bharadah menjadi naik darah. Segera Empu Bharadah memerintahkan kepada Ki Kebo Wirang untuk membidikan senjata tersebut ke arah si Garuda Calonarang. Namun ketika itu, Ki Kebo Wirang menjadi kebingungan lantaran musuh yang akan dibidik tidak kelihatan. Hanya suaranya saja yang berkoar-koar. Ditambah lagi dengan adanya kilat dan guntur yang menggelegar di angkasa. Semakin menyulitkan untuk membidik si Garuda Calonarang.
Menghadapi situasi demikian, Empu Bharadah mencoba untuk memikirkan sebuah daya upaya. Empu Bharadah kemudian memerintahkan kepada Ki Lembu Tal sebagai umpan, semoga si garuda mau keluar dari persembunyiannya. Ki Lembu Tal mencoba untuk mencari daerah yang agak terbuka. Mereka menari-nari sambil mengibas-ngibaskan senjatanya ke udara sebagai menandakan menantang. Ki Lembu Tal mengejek si garuda : “Hai engkau Calonarang, kenapa engkau bersembunyi. Ayo turun, akan saya potong lehermu, akan saya cincang engkau, bila perlu saya jadikan burung garuda panggang. Hai kamu Calonarang, kalau memang engkau sakti mengapa engkau bersembunyi di daerah yang tinggi begitu. Kalau engkau mau, kamu boleh hisap pantatku”. Demikian usikan Ki Lembu Tal yang tidak senonoh, sambil membuka kainnya dan memperlihatkan pantatnya ke arah datangnya bunyi Calonarang.
Mendengar dan melihat usikan Ki Lembu Tal, mengakibatkan Calonarang menjadi naik darah, dan segera keluar dari persembunyiannya. Si garuda Calonarang dengan secepat kilat terbang dan menyambar Ki Lembu Tal. Pada ketika si garuda terbang menyambar Ki Lembu Tal, ketika itu pula Empu Bharadah membidikkan senjata pusaka Jaga Satru dan menembakkannya ke arah sang garuda. Si garuda jelmaan Calonarang tersebut terkena tembakan senjata Jaga Satru dan jatuh tersungkur ke tanah. Segera si garuda mengambil wujud kembali menjadi insan sosok Calonarang. Ratu Leak Calonarang yang sakti mandraguna tidak berdaya dengan kesaktian senjata pusaka Jaga Satru Empu Bharadah. Semua pasukan Balayuda Kediri segera mendekati Calonarang yang tidak berdaya dan kemudian Calonarang menghembuskan nafas terakhir di Setra Ganda Mayu.
Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka tragedi gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.
Lokasi Sebenarnya Desa Girah
Ternyata lokasi sebetulnya dari calonarang yaitu di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Diperkuat sesudah ditemukannya sebuah situs yang diyakini sebagai situs Calonarang yaitu bekas sebuah rumah daerah dimana calonarang pernah tinggal. Situs yang terletak ditengah perkebunan tebu ini sudah semenjak usang dirawat oleh penduduk setempat setrik mandiri.
"Warga desa kami sangat menghormati daerah ini. Dari dulu hingga kini kami setrik bergantian membersihkan batu-batu ini ketika berangkat atau pulang dari sawah," kata Wage, salah seorang warga yang sedang membersihkan situs Calon Arang, Menurut dia, seharusnya daerah tersebut sudah waktunya mendapat perhatian dari pemerintah. Karena selain mempunyai nilai sejarah, kalau tidak diperhatikan bisa hilang dicuri orang.
"Meskipun setrik nrimo warga turut menjaga dan merawat daerah ini, tapi bisa saja ada orang yang tidak bertanggungjawab mencuri batu-batu ini. Apalagi lokasinya tidak mengecewakan jauh dari pemukiman," katanya. Di situs itu terdapat dua buah kerikil yang merupakan ambang pintu dari materi kerikil andesit. Ambang pintu pertama berukuran, panjang 135 cm, lebar 56 cm dan tebal 29 cm. Ambang pintu kedua berukuran: panjang 137 cm, lebar 38 cm dan tebal 23 cm. Keduanya dalam kondisi baik. Pada sisi atas di sebelah akan dan kiri terdapat dua lobang segi empat dan lingkaran. Kemungkinan ini digunakan daerah pilar penyangga semacam kusen pintu.
Selain ambang pintu terdapat 4 buah umpak dari materi kerikil andesit yang rata-rata berukuran sekitar: panjang bawah 50 cm, panjang atas 45 cm, lebar bawah 50 cm, lebar atas 45 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Keempat umpak kerikil berbentuk prisma itu diperkirakan merupakan pondasi penyangga empat sudut rumah. Juga terdapat dua buah balok kerikil dari materi kerikil andesit dengan ukuran, kerikil pertama: panjang 62 cm, lebar 40 cm dan tebal 17 cm. Batu kedua: panjang 67 cm, lebar 47 cm dan tebal 18 cm.
J Sutjahjo Gani, salah seorang budayawan Kota Kediri menjelaskan, daerah tersebut pernah didatangi para andal sejarah dan budayawan dari Pulau Dewata Bali. Kedatangan mereka untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara situs tersebut dengan dramatari kolosal Calon Arang yang selama ini diklaim sebagai hasil kesenian orisinil Bali itu. "Situs Calon Arang pernah didatangi tim dari Bali dari Yayasan Bapak Prof. DR. Wyn Mertha Suteja, SH, PhD. Rencananya di atas tanah di mana situs Calon Arang berada dini akan dibangun semacam bangunan," kata Soetjahjo Gani, yang bertahun-tahun menelusuri ikhwal Calon Arang.
Menurut Gani, dengan kedatangan tim dari Bali itu, memperlihatkan bahwa kalangan budayawan Bali juga menyepakati bahwa tanah kampung halaman Calon Arang memang di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Bahwa kemudian peristiwa yang terjadi di Kediri ini menjadi ide bagi para budayawan Bali membuat dramatari Calon Arang yang terkenal di seluruh penjuru dunia. "Harus diakui bahwa Calon Arang memang orisinil Kediri. Sudah waktunya sejarah diluruskan dan daerah ini segera dirawat dengan layak semoga tidak musnah," kata Gani
Dimanakah Kitab Sihir Calon Arang kini berada? apakah sudah dihancurkan oleh Mpu Bharada?
Posting Komentar untuk "Misteri Kitab Sihir Calonarang"