Mungkin Ini Hakikat Ikhlas
Salah satu tabir yang menutupi hati kita untuk bisa mencicipi getaran cahaya Petunjuk Tuhan yakni ketidakikhlasan. Sebaliknya, bila kita bisa untuk tulus berarti terbukalah salah satu hijab dan kemudian insyaallah kita bisa untuk mencicipi getaran petunjuk cahaya Keikhlasan-Nya juga. Keuntungan tulus yang lain sebagai hadiah dari-Nya terang banyak. Salah satunya yakni bisa meraba iradat-Nya.
Kisahnya sederhana. Hari Senin kemarin, tanpa diduga sebelumnya tiba-tiba mendadak kami diperintahkan untuk ke Bandung, Jawa Barat untuk sebuah tugas. Sebenarnya kami bisa untuk menolak kiprah tersebut sebab sifatnya bukan wajib melainkan pilihan. Entah sebab apa, kami pun berniat berguru tulus saja ditugaskan tanpa pelengkap apapun. Ikhlas ya ikhlas, nggak punya cita-cita apa-apa.
Menurut evaluasi para teman, kami tergolong wong manutan yang tidak punya keberanian untuk menolak ajakan orang lain. Padahal bila menuruti ajakan kiprah pergi ke Bandung tersebut, niscaya akan kelelahan apalagi tanpa imbalan. Padahal, di hati ini berkata: apa salahnya untuk melakukan sesuatu yang bisa menjadi bantalan supaya orang lain tidak kecapekan? Biarlah kami saja yang bermandikan keringat daripada orang lain.
Ingat prinsip Rabiah Adawiyah, sufi agung wanita yang tersirat dalam doanya: “Ya Allah, jadikan tubuhku besar hingga memenuhi neraka supaya para saudaraku sesama insan tidak ada yang masuk neraka”. Ini yakni makna keikhlasan untuk berkorban supaya sesamanya tidak celaka. Biarlah diri menjadi bemper supaya orang lain selamat…. Apakah pikiran kami menyerupai Rabiah? Nggak tahu, semoga saja begitu. Hehehe…
Dalam administrasi modern, pikiran menyerupai ini niscaya dianggap tidak efisien dan efektif. Apalagi dilihat dari sisi ekonomis: ini pikirannya wong mlarat dan bila dipertahankan mungkin hingga kapanpun tidak bisa kaya sebab tidak menguntungkan. Mungkin saja..
Singkatnya, kami pun risikonya tetap memutuskan berangkat dan datang di terminal Bungurasih pukul 4 sore. Sebelumnya, kami disarankan untuk naik bis “Pahala Kencana” sebab konon lebih cepat, lebih nyaman dan lebih “selamat.” Meskipun tiketnya lebih mahal dibanding yang lain.
Di depan petugas penjualan tiket, sayang dingklik bis sudah penuh penumpang dan hanya menyisakan satu dingklik cadangan di pinggir sopir. Oleh petugas penjualan tiket, kami disarankan untuk menunggu bis “Pahala Kencana” yang lain.
Belum sempat memutuskan apapun, dari tempat kami bangun tampak bis “Bandung Express” yang masih kosong melompong menunggu penumpang. Bis ini konon tidak begitu disuka sebab berkelas rakyat bawah sehingga niscaya terasa kurang nyaman bagi mereka yang alergi dengan hal-hal yang berbau rakyat.
Ide pun muncul untuk naik bis berwarna putih tersebut. Kami membeli tiket dan masuk ke kendaraan itu. Itung-itung berguru tulus untuk naik bis yang kurang bagus. Meskipun resikonya jelas; kurang nyaman, kurang bersih, dan kurang-kurang yang lain…
Hebatnya, bis ini murah meriah harga tiketnya dibanding bis elite satunya tadi. Jumlah penumpang “Bandung Express” ketika itu hanya ada delapan. Kursi lain kosong melompong. Dengan delapan penumpang wong cilik tersebut, bis berangkat meninggalkan Surabaya. Sementara bis “Pahala Kencana” sudah terlebih dulu berangkat dengan jeda waktu sekitar satu jam dibanding bis butut yang risikonya kami tumpangi.
Singkatnya, sore berganti pagi. Bis memasuki daerah Sumedang…. Eh, di pinggir jalan kami lihat bis “Pahala Kencana” berhenti. Kelihatan kru bis sedang memperbaiki mesin dan para penumpangnya ada yang keluar bis duduk di pinggir jalan, ada pula yang masih berada di dalam bis menunggu. Ya, bis elite itu rusak. Sementara bis butut yang kami naiki malah mulus meluncur Surabaya-Bandung dengan selamat dan tidak kurang apapun. Lebih cepat lagi hehe…Alhamdulillah.
Perjalanan bis menuju Bandung yakni analogi yang baik bagaimana bersama-sama menuju tujuan hidup. Marilah kita renungkan, kira-kira apa sih tingkat puncak kenikmatan dari hidup? Pelan menjalani proses di dalam hidup menyerupai bis “Bandung Express” meskipun onderdil dan bentuk bis (Ibadah dan niat compang camping) tapi tetap berada di jalan yang benar atau pengin cepat-cepat hingga tujuan hidup namun risikonya malah macet sebab sopirnya ulan-ugalan bahkan fatal tidak hingga tujuan menyerupai bis “Pahala Kencana” tadi?
Begitu pula dengan ibadah. Mana yang kita pilih… jumlah atau frekuensi ibadah yang banyak namun malah justeru yang timbul kebosanan dan bahkan risikonya pengingkaran dari tujuan ibadah, ataukah sedikit pelan namun tulus dan sesuai dengan tujuan ibadah yaitu bentuk simbolik dedikasi tulus dan total pada-Nya?
Benarlah Rabiah Adawiyah. Katanya; ia beribadah bukan berharap nirwana dan bukan pula takut neraka. Ya, kita beribadah bukan mengharapkan itu. Bahkan jikalau nirwana dan neraka tak pernah ada, niscaya kita tetap sujud pada-Nya.
Satu hal yang bisa digarisbawahi, bahwa dalam melakoni garis, tata cara dan jalan kehendak Tuhan (agama/kepercayaan/yang lain) terletak pada tujuan murni yang hendak dicapai. Dalam setiap tindak tanduk keseharian kita, semua berjalan dalam rangka dedikasi ibadah. Dan semuanya diikat kembali dengan tali keikhlasan.
Perintah ihwal ibadah dalam kitab suci terang terangkai dengan kata ikhlas. Dan sebagai motivasi, beribadah perlu dilanjutkan dengan berinovasi dalam amal. Beribadah seolah melihat Gusti Allah, sekiranya pun kita masih belum bisa mencicipi bahwa Dia melihat kita, boleh juga memantapkan keyakinan bahwa Dia akan melihat apa yang kita kerjakan.
Di sinilah kiprah tulus tersebut. Ikhlas bukan pasrah negatif, tapi tulus yakni tujuan tanpa batas kemakhlukan yang sarat kebendaan. Sebab objek yang dituju yakni Sang Maha Ikhlas. Ia yang transenden tak sanggup terlihat tapi bisa dirasakan, berarti setiap langkah perjuangan yang dibuat, harus terus akan berjalan dengan dalih keberadaan-Nya. Selama masih ada kesempatan hidup, maka penemuan harus ada. Biarlah semua hanya Gusti Allah yang menilai perjuangan kita.
Berbuatlah tanpa pelengkap dibelakang. Tujuannya, bukan untuk dipuji, jadi kaya, terhormat, sanggup kekuasaan, jabatan atau lainnya. Arahkan selalu tujuan hanya kepada Gusti Sang Maha Tunggal. Kita niscaya tidak akan mengeluh, bosan, jenuh dan sebagainya. Justru, jikalau tujuan itu berhasil keridhaan-Nya sudah dijamin.
Mungkin ini hakikat ikhlas. Bukan tulus yang ateis. Bukan pula tulus yang absurd.
Posting Komentar untuk "Mungkin Ini Hakikat Ikhlas"